LAPORAN PRAKTIK
KERJA LAPANGAN (PKL)
SEMESTER VII TAHUN AKADEMIK 2013 / 2014
VARIASI
GENETIK KENTANG HITAM (Solenostemon rotundifolius) MUTAN TAHAN
KEKERINGAN DAN GARAM HASIL RADIASI SINAR ϒ DENGAN MENGGUNAKAN MARKA ISSR DAN
RAPD
BIDANG BOTANI,
PUSLIT BIOLOGI-LIPI, CIBINONG SCIENCE CENTRE, JL. RAYA JAKARTA-BOGOR KM 46,
CIBINONG
Dosen
Pembimbing Fakultas:
Dwi
Suheriyanto, S.Si., M.P
Dosen
Pembimbing Lapangan :
Dr. Yuyu
Suryasari Poerba
Disusun oleh :
Asifatul Qubais
(10620061)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan
negara yang memiliki sumber daya alam yang besar. Kekayaan sumber daya alam ini
harus dimanfaatkan dan diberdayakan sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Salah satu kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk adalah kebutuhan pangan. Umbi-umbian
merupakan salah satu sumber pangan alternatif yang perlu dikembangkan untuk
mengatasi persoalan ini. Salah satu umbi-umbian yang bermanfaat namun belum
terkenal di masyarakat Indonesia adalah kentang hitam (Plectranthus rotundifolius).
Umbi kentang hitam (Plectranthus
rotundifolius) merupakan makanan yang kaya akan karbohidrat khususnya pati
sehingga berpotensi untuk dijadikan sumber pangan alternatif (Subhan, 1988).
Selain mengandung karbohidrat, kentang hitam juga memiliki kandungan
antioksidan yang tinggi. Nugraheni (2010) dalam disertasinya menunjukkan bahwa
kentang hitam yang disebut juga kentang kleci dan selama ini merupakan umbi
minor mempunyai kemampuan sebagai antioksidan secara in vitro kimiawi maupun di
tingkat seluler serta memiliki kemampuan sebagai antiproliferasi pada sel
kanker payudara. Namun, kentang hitam kurang terkenal dan pembudidayaan di
masyarakat saat ini semakin langka. Biasanya hanya bisa ditemukan di
pasar-pasar tradisional tertentu.
Kentang hitam merupakan
tanaman yang mudah dibudidayakan dengan stek dan sulit ditemukan meliar di
daerah aslinya. Keseluruhan tanaman kentang dapat dikatakan merupakan hasil
kloning dari satu tanaman kentang. Oleh karena itu, keragaman genetik kentang diperkirakan
rendah sehingga perlu dilakukan peningkatan variasi genetik (Subhan, 1998). Salah
satu metode pendekatan biologi molekuler yang sering dilakukan untuk meningkatkan
variasi genetik adalah dengan induksi mutasi radiasi sinar gamma (Co60).
Induksi radiasi sinar gama, dapat menyebabkan mutasi gen sehingga bisa
meningkatkan keragaman genetik kentang. Keragaman genetik yang luas diperlukan
dalam kegiatan pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas unggul baru dengan
sifat-sifat yang diinginkan (Soedjono, 2003).
Tanaman kentang hitam yang diharapkan adalah memiliki beberapa sifat
unggul yaitu ukuran umbi yang besar, bobot umbi yang berat, tahan serangan
nematoda, tahan kekeringan dan tahan salin (garam).
Analisa variasi genetik
merupakan kegiatan yang penting dalam pemuliaan tanaman. Melalui analisa
variasi genetik, dapat diketahui keragaman genetik pada suatu populasi. Menurut
Romeida (2012) informasi variasi genetik dapat meningkatkan efisiensi pada
tahap awal seleksi dan dapat memperpendek waktu yang diperlukan untuk program
pemuliaan tanaman.
Proses analisa variasi
genetik, memerlukan marka atau penanda molekuler. Pemilihan marka molekuler
yang digunakan haruslah tepat karena akan berpengaruh terhadap hasil yang
didapatkan. ISSR (Inter Simple Sequence Repeat) dan RAPD (Random
Amplified Polymorphic DNA) merupakan contoh penanda molekuler yang sering
digunakan. Penanda molekuler Inter Simple Sequence Repeat (ISSR)
merupakan salah satu penanda dengan motif sekuen berulang yang memiliki tingkat
akurasi cukup tinggi (Zietkiewicz et al. 1994). Sedangkan Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) memiliki panjang primer 10 bp, yang dapat
menempel secara acak pada situs target homolognya dalam genom (Jones et al;
1997). Kedua jenis marka tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, serta
perbedaan daerah amplifikasi sehingga penggunaan kedua jenis marka dalam
analisa variasi genetik kentang ini akan menghasilkan data yang lebih akurat.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari penelitian PKL (Praktik Kerja Lapangan) ini adalah untuk mempelajari teknik
biologi molekuler dan analisa variasi genetik mutan kentang hitam (Plectranthus
rotundifolius) dengan marka ISSR dan RAPD.
1.3 Manfaat
Kegiatan
PKL (Praktik Kerja Lapangan) dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi mahasiswa, universitas, lembaga tempat PKL, serta masyarakat luas,
antara lain:
1.
Dapat
mengembangkan wawasan dan keterampilan mahasiswa tentang pengembangan keilmuan
dan penelitian, serta melatih untuk menangani dan memecahkan berbagai masalah
keilmuan dalam dunia kerja secara professional dan bertanggung jawab.
2.
Dapat
meningkatkan kerjasama antara Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang khususnya Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia khususnya Pusat
Penelitian Biologi.
3.
Lembaga tempat
PKL dalam hal ini adalah Puslit Biologi LIPI dapat memperoleh bantuan tenaga
dan pemikiran yang dapat digunakan dalam pengembangan instansi atau lembaga.
4.
Dapat mencari
alternatif solusi masalah yang dikaji dalam penelitian dalam hal ini adalah
memberikan informasi mengenai variasi genetik kentang hitam mutan sebagai
sumber pangan alternatif.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Botani Kentang
Hitam
Tanaman kentang hitam (Plectranthus
rotundifolius) disebut juga dengan kentang Jawa atau huwi kentang.
Tanaman ini awalnya ditemukan meliar di Madagaskar, Afrika tetapi saat ini
sudah dibudidayakan di berbagai daerah seperti di Afrika Selatan, Sri Lanka,
India, Malaysia, Sumatera, Jawa dan Filipina. Secara taksonomi Plectranthus
rotundifolius tidak berada di family yang sama dengan kentang biasa (Solanaceae)
tetapi satu family dengan tanaman mint, yaitu Lamiaceae. Taksonomi dari
kentang hitam adalah sebagai berikut (GBIF, 2013) :
Kingdom: Plantae
Divisio: Spermatophyta
Subdivisio: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Lamiales
Famili: Lamiaceae
Genus: Plectranthus
Spesies: Plectranthus rotundifolius (Poir.) Spreng.
Gambar
1. Tanaman kentang hitam a. tanaman kentang hitam di green house PUSLIT
Biologi. b. struktur habitus dan bunga tanaman kentang hitam (Globinmed, 2013).
2.2 Pemuliaan
Tanaman dan Mutasi
Perbaikan
sifat genetik tanaman dapat dilakukan melalui pemuliaan. Secara konvensional,
perbaikan sifat dilakukan dengan persilangan antarspesies, varietas, genera
atau kerabat yang memiliki sifat yang diinginkan. Namun, persilangan terbatas
pada tanaman berbunga. Untuk tanaman yang tidak dapat atau sulit diperbaiki
melalui persilangan, perbaikan sifat diupayakan dengan cara lain, di antaranya
mutasi induksi yang disebut pula mutasi buatan (Soedjono, 2003).
Keragaman genetik yang
luas diperlukan dalam kegiatan pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas
unggul baru dengan sifat-sifat yang diinginkan (Soedjono, 2003). Tanaman kentang hitam tidak diperbanyak secara generatif, oleh
karena itu keanekaragaman genetik kentang hitam rendah. Perbanyakan bibit
kentang hitam umumnya dilakukan dengan menggunakan stek batang berukuran 10 cm
yang dibibitkan pada polibag yang berisi campuran tanah mineral dan kompos
(Nkansah, 2004). Keseluruhan tanaman kentang dapat dikatakan merupakan hasil
kloning dari satu tanaman kentang. Oleh karena itu perlu dilakukan mutasi untuk
mendapatkan tanaman kentang hitam yang memiliki sifat unggul.
Mutasi
genetik merupakan perubahan materi genetik yaitu pada sekuens DNA. Mutasi dapat
terjadi secara alami, namun menurut Brock (1979), mutan yang diperoleh secara
alami sangat langka, sekitar 1x10-6 sampai 1x10-7 perubahan
pada gen dalam satu sel tunggal. Oleh karena itu, untuk mendapatkan produk
tanaman dengan sifat unggul seringkali dilakukan mutasi induksi atau buatan. Awalnya,
para pakar/ pemulia tanaman menganggap bahwa mutasi induksi merupakan suatu
teknik pemuliaan yang kurang meyakinkan. Namun, seiring dengan berkembangnya
bioteknologi, keberhasilan regenerasi sel berdasarkan teori totipotensi dan
terbentuknya variasi somaklonal, mutasi induksi merupakan terobosan dalam
pemuliaan tanaman yang menjanjikan, khususnya bagi tanaman yang berbiak secara
vegetative seperti kentang hitam (Soedjono, 2003).
Mutasi
induksi dapat dilakukan dengan mutagen kimia maupun fisika. Mutagen kimia
antara lain ethylenscimine (EL), diethylsulphate (DES), ethylmethanesulphonate
(EMS), ethyl nitroso urea (ENH), dan methyl nitroso urea (MNH)
serta kelompok azida. Mutagen fisika yang sering digunakan adalah sinar-X (X),
gamma (Co60), netron cepat (Nf), dan thermal neutron (Nth) (Soedjono,
2003).
2.4
Teknik-teknik Analisa Biologi Molekuler
2.4.1
Ekstraksi DNA
Isolasi
DNA adalah proses pengeluaran DNA dari tempatnya berada (ekstraksi atau lisis)
biasanya dilakukan dengan homogenasi dan penambahan buffer ekstraksi atau
buffer lisis untuk mencegah DNA rusak (Yuwono, 2006). Isolasi DNA secara umum memiliki
beberapa tahapan yaitu isolasi jaringan, pelisisan dinding dan membrane sel,
pengekstraksian dalam larutan, purifikasi, dan presipitasi.
Pelisisan
dinding dan membran sel dapat dilakukan dengan cara penggerusan (homogenasi),
sentrifugasi dengan kecepatan lebih dari 10.000 rpm atau dengan
menggunakan larutan pelisis sel atau
buffer ekstraksi. Membrane inti sel harus dilisiskan, karena substansi gen yang
diinginkan ada didalamnya.
Salah
satu metode yang sering digunakan pada ekstraksi DNA tumbuhan adalah dengan metode
CTAB (cetyl trimethyl ammonium bromide). CTAB (cetyl trimethyl
ammonium bromide) merupakan sejenis deterjen yang dapat mendegradasi
dinding sel, denaturasi protein, memisahkan karbohidrat, merusak membran sel
dan melarutkan DNA (Purwantara, 2001). Apabila dinding sel terdegradasi maka
semua isi sel dapat keluar termasuk DNA dan dilepaskan ke dalam buffer
ekstraksi. Presipitasi bertujuan untuk membersihkan hasil ekstrak dari zat-zat
lainnya. Presipitasi dapat dilakukan dengan menggunakan PCI (Phenol Chloroform
Isoamil Alkohol) dan sentrifugasi, PCI dapat mengikat protein dan kontaminan
lainnya sehingga mengendap menjadi pellet sedangkan DNA teradapat di larutan
bagian atas. Tahap terakhir, yaitu purifikasi dengan menggunakan ethanol.
2.4.2
PCR
Prinsip
kerja PCR (Polymerase Chain Reaction) yaitu amplifikasi sekuens DNA
dengan menaik-turunkan suhu dengan cepat. Cara amplifikasi yaitu dengan
memanfaatkan urutan nukleotida tertentu sebagai cetakan dan primer, seperti
halnya pada proses replikasi DNA (Mullis, 1987).
Satu
siklus PCR terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pemisahan utas ganda DNA genom
(denaturasi), tahap penempelan primer (annealing) dan tahap pemanjangan atau
sintesis DNA (extension). Tahap denaturasi, dua utas DNA genom dipisahkan
secara sempurna, umumnya pada suhu 94-950C. Tahap penempelan
primer-primer, primer menempel pada DNA cetakan dengan suhu bergantung pada
komposisi, panjang dan konsentrasi primer, dan proses sintesis fragmen DNA
namun sekitar 550C. seperti yang dikemukakan oleh Pauls et al. (1993)
bahwa suhu penempelan primer dipengaruhi oleh panjang primer dan pensentase G/C
dalam primer serta konsentrasi garam larutan penyangga. Tahap sintesis fragmen
terjadi polimerasi nukleotida yang dimulai dari ujung 3’ primer berdasarkan
urutan DNA cetakan, suhu tahap ini bergantung pada panjang dan susunan dari DNA
cetakan, namun sekitar 720C. Tiga tahapan diulang dalam beberapa siklus
untuk mendapatkan kualitas fragmen yang nampak jelas.
Elektroforesis
berasal dari bahasa Yunani yang berarti transport atau perpindahan melalui
partikel-partikel listrik (Pasteur, 1988). Elektroforesis adalah suatu cara
analisis kimiawi yang didasarkan pada pergerakan molekul-molekul protein
bermuatan di dalam medan listrik (Tritawani, 1996). Pemisahan dilakukan
berdasarkan perbedaan ukuran berat molekul dan muatan listrik yang dikandung
oleh makro-molekul tersebut (Ricardson, 1986).
Macam-macam
elektroforesis yaitu elektroforesis larutan dan elektroforesis daerah. Pada
teknik elektroforesis larutan, larutan penyangga yang mengandung makro-molekul
ditempatkan dalam suatu kamar tertutup dan dialiri arus listrik. Sedangkan pada
teknik elektroforesis daerah menggunakan suatu bahan padat yang berfungsi
sebagai media penunjang yang dimasukkan dalam larutan penyangga. Media
penunjang yang biasa dipakai adalah gel agarose, gel pati, gel poliakrilamida
dan kertas sellulose poliasetat. Poliakrilamida memiliki kapasitas resolusi
yang lebih tinggi, tetapi gel poliakrilamida dapat memisahkan DNA hanya dalam
rentang ukuran DNA yang sempit. Jadi gel poliakrilamida dapat memisahkan DNA
satu sama lainnya yang berbeda ukurannya hanya beberapa atau bahkan satu pasang
basa saja tetapi pada molekul yang berukuran beberapa ratus pasang basa saja
(dibawah 1000 pasang basa). Gel agarosa
memiliki resolusi yang lebih rendah tetapi dapat memisahkan DNA yang berukuran
sampai puluhan kilo pasang basa (Pratiwi, 2001).
Ada
dua model elektroforesis daerah atau elektroforesis gel yaitu horizontal dan
vertical. Metode horizontal lebih sering digunakan karena memiliki beberapa
keuntungan yaitu peralatan yang digunakan sangat sederhana, relative murah dan
pemisahan untuk enzim tertentu dapat menghasilkan pemisahan yang lebih baik (Pratiwi,
2001).
2.5
Analisa Keragaman
Karakterisasi
dan analisis keragaman tanaman dapat dilakukan menggunakan penanda morfologi
maupun penanda molekuler (Liu et al. 2006; Kaltunow, 1993). Strategi
yang umum dilakukan adalah melalui penanda morfologi karena mudah, cepat dan
relatif lebih murah. Penanda morfologi ini mempunyai kelemahan karena
sebenarnya keragaman fenotipik merupakan faktor interaksi genetik dengan lingkungan,
sehingga potensi genetik tidak mampu dideteksi secara baik (Kaltunow, 1993).
Sebaiknya disamping melakukan karakterisasi morfologi untuk karakter
kualitatif, juga dilakukan karakterisasi menggunakan penanda molekuler. Penanda
molekuler dapat memberikan gambaran hubungan kekerabatan yang lebih akurat
antara suatu spesies dengan kerabat dekat maupun kerabat jauhnya serta antara
suatu spesies dengan mutannya, karena analisis DNA sebagai materi genetik tidak
dipengaruhi oleh lingkungan (Liu et al. 2006).
Penanda
molekuler didasari oleh adanya polimorfis pada tingkat DNA atau protein.
Penanda molekuler DNA langsung berintegrasi dengan genetik dan menggambarkan
keadaan genom yang sesungguhnya (Noorrohmah, 2010). Sedangkan penanda molekuler
protein (isoenzim) merupakan metode yang sesuai untuk mendeteksi perubahan
genetik namun terbatas dalam jumlah sampel, dan hanya daerah pengkode protein
saja yang terdeteksi.
Penanda
dengan menggunakan DNA terbagi menjadi dua tipe yaitu (1) non PCR seperti RFLP
(Restriction Fragment Length Polymorphism) dan (2) berbasis PCR seperti
RAPD (Random Amplified Polimorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment
Length Polymorphism), SSR (Simple Sequences Repeat / microsatellite),
dan ISSR (Inter Simple Sequences Repeat / microsatellite) dengan
terbentuknya separasi pita hasil proses elektroforesis sebagai pencerminan alel
atau lokus (Powell et al. 1996), namun tiap teknik tersebut mempunyai
keterbatasan.
2.5.1
ISSR
Penanda
molekuler Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) merupakan salah satu penanda
dengan motif sekuen berulang yang memiliki tingkat akurasi cukup tinggi. Ada
kalanya terdapat penambahan sekuen nukleotida baik pada bagian ujung 3’ maupun
ujung 5’. Penanda ISSR memiliki panjang primer 16-25 bp, lebih panjang jika
dibandingkan RAPD yang hanya memiliki 10 bp (Zietkiewicz et al. 1994).
ISSR merupakan penanda yang dikembangkan dari motif SSR. Tanaman umumnya
memiliki dinukleotida dengan motif SSR seperti AC/TG, AT/AT, dan AG/TC (Soltis et
al. 1998). Fragmen DNA dengan ukuran 100-3000 bp berlokasi di antara
wilayah mikrosatelit, wilayah amplifikasi sekuen DNA yaitu pada inter-SSR
bagian flanked genom secara berlawanan pada area yang dekat dengan
sekuen berulang (Zietkiewicz et al. 1994).
Gambar
2. Wilayah amplifikasi ISSR (Zietkiewicz et al. 1994)
Keunggulan
dari penggunaan primer ISSR yaitu mudah digunakan, cepat dan murah (Lanham, 1999;Guo
et al. 2009), serta tidak dipengaruhi musim dan lingkungan (Azrai,
2005). Selain itu tidak memerlukan data sekuen terlebih dahulu karena bekerja
secara acak, hanya membutuhkan 5-50 ng templat DNA per reaksi, ISSR tersebar di
seluruh genom, dapat bersifat dominan maupun kodominan (Soltis et al.
1998).
ISSR
dapat digunakan untuk menghasilkan pola separasi pita DNA polimorfik dalam
pengamatan genotype untuk (1) memperoleh hubungan asal tanaman dengan pusat
penyebaran, (2) identifikasi genetik tetua, klon, galur dan (3) analisis
keragaman genetik serta kekerabatan (Gao et al. 2006; Guo et al. 2009).Penanda
ISSR telah banyak digunakan untuk mempelajari polimorfisme DNA tanaman jati di
India (Narayanan et al. 2007). Penanda ISSR juga diketahui telah dapat
memetakan peta keterpautan genetik pada tanaman Catharanthus roseus
(Gupta et al. 200). Romeida et al. (2012) menggunakan marker ISSR untuk
mengamati variasi genetik mutan anggrek Spathoglottis plicata Blume.
2.4.1
RAPD
Penanda
molekuler yang banyak digunakan dalam analisis keragaman genetik tumbuhan,
salah satunya adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Teknik ini
digunakan untuk mengidentifikasi genotipe tumbuhan, karena memiliki kelebihan
dalam pelaksanaan dan analisisnya. Keuntungan dari teknik ini adalah (Isabel et
al. 1993):
1.
Dapat
menggunakan sampel dengan jumlah besar dan relatif cepat, serta secara ekonomi hanya
menggunakan bahan dalam jumlah mikro
2.
Amplikon
tidak tergantung dari ekspresi ontogenetik
3.
Banyak
daerah genom dapat disampling dengan jumlah yang tak terbatas.
Penanda
ini memiliki panjang primer 10 bp, yang dapat menempel secara acak pada situs
target homolognya dalam genom. Kelemahan teknik ini adalah reprodusibilitas
yang rendah (Jones et al. 1997) karena dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi
isolasi DNA (Korbin et al. 2000), konsentrasi DNA cetakan dan primer,
konsentrasi Taq DNA polymerase, suhu penempelan primer pada cetakan
(annealing), jumlah siklus thermal dan konsentrasi MgCl2 (Bassam et
al. 1992 ; Kernodle et al. 1993). Kelemahan ini dapat diatasi dengan
membuat reaksi dan kondisinya sehomogen mungkin, skrining primer, memilah
pita-pita fragmen DNA yang jelas, menggunakan suhu annealing yang optimal, dan
penambahan 1-2 basa pada primer untuk mempertinggi spesifikasi penempelan DNA
(Tanaka, 2002). Namun teknik ini mempunyai keterbatasan yaitu tidak reproducible
Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa mayoritas pita DNA reproducible
jika digunakan protocol standar dalam tiap reaksi (Heddrick, 1992; Gibbs et
al. 1994), sehingga untuk mendapatkan hasil RAPD yang reproducible
tinggi maka reaksinya perlu dioptimasi.
Marker
RAPD telah banyak dimanfaatkan untuk menguji variasi genetik berbagai jenis
tanaman misalnya, Poerba (2008) menggunakan marker RAPD untuk menganalisa
keragaman genetik Amorphophallus muelleri Blume di Jawa dan Tyrka (2003)
menggunakan marker RAPD untuk identifikasi strawberry dan studi diversity genetik.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
1.1
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 – 30 Juli 2013. Pengambilan
sampel daun dilaksanakan di kebun Cibinong Science Center (CSC) Pusat
Penelitian Biologi LIPI Cibinong sedangkan ekstraksi dan analisanya dilaksanakan
di Laboratorium Genetika Tumbuhan Puslit Biologi LIPI Cibinong, Bogor.
1.2
Alat dan Bahan
1.2.1
Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah plastik,
gunting, spidol, buku catatan, pastel/ penggerus, tabung eppendorf ,
rak tabung eppendorf , mikropipet dan tip, gelas ukur, erlenmeyer,
waterbath, alat sentrifugasi, vacuum dryer, mesin PCR (Polymerase
Chain Reaction), tabung PCR 1,5 ml, rak tabung PCR, satu set alat
elektroforesis, UV transiluminator, hotplate dan stirrer, timbangan
analitik, autoclave, oven, lemari asam, lemari es, dan freezer.
1.2.2
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu sampel daun
kentang hitam, ddH2O, tissue, larutan buffer CTAB 4% (terdiri
dari NaCl 2 M, EDTA 20mM, mercaptoethanol 0,3%, tris HCL 100mM, dan
aquades steril), Chloroform Isoamil Alkohol, EtOH, RNAse, Phenol: Chloroform:
Isoamil alcohol (25:24:1), Tris Edta, TAE (Tris Acetat Edta)
(terdiri dari trisbase, asam asetat glacial, EDTA, air), gel agarose, green
master mix promega, DNA marker ladder 100bp (fermentasi), nuclease-free water,
primer ISSR dan RAPD.
Sampel daun kentang yang digunakan sebanyak 33 terdiri dari 30
mutan hasil iradiasi sinar gamma dan tiga kontrol yang tidak diinduksi radiasi
sinar gamma. Tiga puluh sampel kentang hitam mutan terdiri dari 10 sampel
pertama (1-10) merupakan kentang yang telah dimutasi dengan radiasi sinar gama,
10 sampel kedua (11-20) merupakan kentang hitam yang telah diradiasi dengan
sinar gama dan juga telah diseleksi tahan salin (NaCl), 10 sampel terakhir
(21-30) merupakan kentang hitam yang telah diradiasi dan diseleksi tahan
kekeringan dengan menggunakan polyethylene glycol (PEG).
Tabel 1. Daftar nama sampel kentang hitam mutan
No
|
Nama
|
No.
|
Nama
|
No.
|
Nama
|
1
|
D40
no.1
|
11
|
M
150 no.6
|
21
|
SC
557,5 no. 5
|
2
|
D17
no.6
|
12
|
M
343 no. 1
|
22
|
SC
557,5 no. 1
|
3
|
D19
no.2
|
13
|
M
76 no.1
|
23
|
SC
38,3 no.1
|
4
|
D71
no.7
|
14
|
M
150 no.1
|
24
|
SC
557,5 no.3
|
5
|
D135
B no.1
|
15
|
M
150 no. 2
|
25
|
SC
557,5 no. 4
|
6
|
D3
no.2
|
16
|
M
93 no.1
|
26
|
SC
38,3 no.6
|
7
|
D69
no.1
|
17
|
M
343 no. 7
|
27
|
SC
80 no. 6
|
8
|
D43
no.1
|
18
|
M
79 no. 1
|
28
|
SC
557,5 no. 6
|
9
|
D40
no.4
|
19
|
M
79 no. 2
|
29
|
SC
80 no. 3
|
10
|
D9
no.7
|
20
|
M
150 no. 3
|
30
|
SC
80 no.4
|
Primer
yang digunakan sejumlah 10, terdiri dari 5 primer ISSR dan 5 primer RAPD.
Tabel
2. Daftar primer ISSR dan RAPD yang digunakan
No
|
Nama
Primer ISSR
|
Sekuens
Primer
5’ 3’
|
No
|
Nama
Primer RAPD
|
Sekuens
Primer
5’ 3’
|
1
|
UBC
807
|
AGA
GAG AGA GAG AGA GT
|
1
|
OPA
13
|
TGAGTCCGCA
|
2
|
UBC
811
|
GAG
AGA GAG AGA GAG AC
|
2
|
OPB
10
|
CTGCTGGGAC
|
3
|
UBC
834
|
AGA
AGAG AGA GAG AGA GYT
|
3
|
OPD
8
|
GTGTGCCCCA
|
4
|
UBC
835
|
AGA
GAG AGA GAG AGA GYC
|
4
|
OPB
17
|
AGGGAACGAG
|
5
|
UBC
809
|
AGA
GAG AGA GAG AGA GG
|
5
|
OPN
14
|
TCGTGCGGGT
|
1.1
Prosedur Kerja
1.1.1
Pengambilan Sampel
Sampel DNA diekstrak dari daun tanaman kentang hitam. Tanaman
kentang yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari koleksi kebun
Cibinong Science Center (CSC) PUSLIT Biologi LIPI Cibinong, merupakan kentang
generasi pertama dari umbi, namun sudah 3 kali diperbanyak secara vegetatif.
1.1.2
Persiapan Isolasi DNA
Persiapan isolasi DNA meliputi pensterilan daun. Sampel daun yang
telah dikumpulkan, dibersihkan dengan menggunakan tissue yang telah di
beri etanol 70%. Sampel daun dipotong sebanyak 0.02 gr untuk ekstraksi,
selebihnya dapat diawetkan dalam plastik yang berisi silica gel.
1.1.3
Isolasi DNA Daun Kentang Hitam
Ekstraksi dan isolasi DNA genom kentang hitam dilakukan berdasarkan
metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) metode Delaporta et al., (1983)
yang dimodifikasi. Larutan CTAB 4% yang digunakan dibuat dari 4 gram CTAB, 2M
NaCl sebanyak 40 ml, 20mm EDTA sebanyak 4 ml, 0,3%mercaptoethanol sebanyak 0,2
ml, 100 mm tris HCl sebanyak 10 ml, aquades steril hingga volume 100 ml.
Tahap pertama adalah ekstraksi. Tabung eppendorf berisi sampel daun 0,02 gr dan larutan CTAB 4%
300 µL ditambah dengan pasir kuarsa, lalu digerus menggunakan pastel
sampai halus. Setelah sampel daun halus, ditambahkan CTAB 400 µL ke dalam tube,
lalu dikocok agar homogen. Kemudian diinkubasi di waterbath pada suhu 65 0C
selama 60 menit. Setelah diinkubasi, ditambahkan Clorofom Isoamil Alcohol (C:I=4:1)
sebanyak 700 µL pada tabung eppendorf, lalu dikocok agar homogen. Tabung
eppendorf tersebut kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit pada suhu 25oC. Supernatant
diambil sebanyak 600 µL, lalu dipindah ke tabung eppendorf yang baru. Ditambahkan etanol 70% ke tabung
eppendorf yang berisi supernatant.
Dihomogenkan, lalu diinkubasi didalam freezer selama semalam. Setelah
diinkubasi, disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit pada
suhu 25oC. Pelet hasil sentrifugasi ditambah etanol 80% sebanyak 300
µL. Disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit 25oC.
Supernatant dibuang lalu dikering anginkan peletnya selama 15 menit.
Kemudian pellet ditambah ddH2O sebanyak 300 µL dan RNAse sebanyak 15
µL, lalu dihomogenkan. Sampel diinkubasi pada suhu 37oC selama 30
menit di dalam waterbath. Ditambahkan Phenol: Chlorofom: Isoamyl
Alcohol (25:24:1) sebanyak 300 µL lalu dihomogenkan. Disentrifugasi dengan
kecepatan 12000 rpm selama 15 menit pada suhu 25oC. Supernatant diambil
sebanyak 300 µL, lalu dimasukkan kedalam tabung eppendorf yang berisi Chlorofom : Isoamyl Alcohol (C:I=1:1)
sebanyak 300 µL. Campuran tersebut disentrifugasi 12000 rpm selama 15 menit pada
suhu 25oC.
Supernatant hasil sentrifugasi diambil sebanyak 300 µL, lalu
dimasukkan ke tabung yang berisi etanol absolute 300 µL. Diinkubasi pada
suhu -20 0C selama 2 jam kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000
rpm selama 15 menit pada suhu 25oC. Supernatant dibuang, lalu
pellet dicuci dengan etanol 80% sebanyak 300 µL. Lalu, disentrifugasi dengan
kecepatan 12000 rpm selama 15 menit pada suhu 25oC. Supernatant dibuang,
lalu dibungkus mulut tabung dengan plastik parafilm dan dilubangi
sedikit. Setelah itu, dikeringkan dengan
vacuum dryer. Sampel DNA murni yang telah diperoleh ditambah TE
15µL dan disimpan di lemari es.
1.1.4
Uji Kualitas DNA Hasil Ekstraksi dengan Elektroforesis
DNA murni yang telah dicampur dengan TE diuji kualitasnya dengan
elektroforesis gel agarose horizontal. Pada setiap sumuran gel berisi 3µL DNA
dan 1µL loading dye. DNA dan loading dye tersebut sebelumnya dihomogenkan
terlebih dahulu dengan mikropipet di atas plastik parafilim. Marker yang
digunakan adalah gene ruler 100 bp plus sebanyak 2 µL dan diletakkan di sumuran
yang paling pinggir. Kemudian dielektroforesis pada 1,5% gel agarose pada tegangan
100 volt, selama 120 menit. Setelah itu, gel agarose direndam dalam 1%
etidiumbromida selama ±15 menit dan divisualisasikan pada UV Transiluminator.
Hasil ekstraksi DNA yang menghasilkan kualitas DNA yang cukup baik, dilanjutkan
dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
1.1.5
Amplifikasi DNA dengan Teknik ISSR dan RAPD Berdasarkan PCR
Sampel DNA yang akan diamplifikasi diambil dari stok kerja DNA yang
konsentrasinya telah diencerkan dengan ddH2O menjadi 1/25
dari DNA murni. Untuk setiap tabung PCR berisi 15 µL campuran yang terdiri dari
:
Tabel
3. Komponen PCR dalam satu tabung
No
|
Komponen
PCR
|
Volume
(µL) 1 tabung
|
1
|
Green
Master Mix
|
7,5
|
2
|
Primer
|
1,5
|
3
|
Nuclease-Free
Water
|
5
|
4
|
DNA
|
1
|
|
Volume Akhir
|
15
|
Tabung yang
telah berisi sampel PCR dihomogenkan dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000
rpm selama 1 menit kemudian dimasukkan ke mesin thermal cycler atau PCR.
Amplifikasi DNA dengan menggunakan marka ISSR sebanyak 35 siklus
dengan tahapan PCR sebagai berikut 94oC selama 5 menit kondisi awal,
denaturasi 94oC selama 1 menit, annealing pada suhu 50oC
selama 45 detik, extension pada suhu 72oC selama 2 menit,
sintesis tambahan 72oC selama 5 menit dan akhir dari seluruh siklus
dikondisikan pada suhu tetap 20oC.
Amplifikasi DNA dengan menggunakan marka RAPD sebanyak 45 siklus
dengan tahapan PCR sebagai berikut kondisi awal yaitu 94oC selama 2
menit, denaturasi 94oC selama 1 menit, annealing 36oC
selama 1 menit, extension 72oC selama 2 menit, sintesis tambahan 72oC
selama 5 menit dan akhir dari seluruh siklus dikondisikan pada suhu tetap 4oC.
1.1.1
Elektroforesis dan Visualisasi DNA dengan UV Transilumintor
Sampel DNA hasil PCR sebanyak 3µL dielektroforesis pada 1,5% gel
agarose dengan tegangan listrik 100 volt selama 120 menit. Marker yang
digunakan adalah gene ruler 100 bp plus sebanyak 2 µL dan diletakkan
pada sumuran yang paling pinggir. Setelah itu gel agarose direndam dalam 1% etidiumbromida
selama 15 menit dan divisualisasikan pada UV transiluminator.
1.1.2
Analisa
Analisa
dilakukan dengan memilih hasil foto elektroforesis secara visual berdasarkan
primer yang lebih polimorfik. Kemudian profil pita DNA mutan dibandingkan dengan
kontrol. Untuk memisahkan lokus yang memiliki ukuran yang berbeda diberi nilai
skor 1 apabila muncul pita dan nilai skor 0 apabila tidak muncul pita (Romeida,
2012). Setelah itu data scoring dianalisa dengan menggunakan UPGMA (unweighted
pair group with arithmeatic average) program NTSYS-pc (numerical
taxonomy system) versi 2.0 NTSYS.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Prosedur
Penelitian
4.1.1
Ekstraksi DNA
Gambar
3. Hasil elektroforesis genom kentang hitam. Nama sampel pada setiap nomor
dapat dilihat pada tabel 1.
4.1.2
Amplifikasi DNA
Amplifikasi
DNA merupakan proses perbanyakan sequen DNA spesifik. Proses amplifikasi DNA
menggunakan mesin Takara PCR Thermal Cycler. Menurut Muladno (2002), PCR adalah
suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu
dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA
target dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer, dan dilakukan
di dalam thermocycler. Prinsip kerja mesin PCR ini adalah menaik turunkan suhu
dengan cepat. Perubahan suhu ini diperlukan dalam proses amplifikasi karena
setiap tahap adalam satu siklus mplifikasi membutuhkan suhu yang berbeda-beda.
Satu
siklus PCR terdiri atas tiga tahap yaitu tahap pemisahan utas ganda DNA genom (denaturasi),
tahap penempelan primer (annealing) dan tahap pemanjangan atau sintesis
DNA (extension). Tahap denaturasi, dua utas DNA genom dipisahkan secara
sempurna, umumnya pada suhu 94-950C. Tahap penempelan primer-primer,
primer menempel pada DNA cetakan dengan suhu sekitar 550C yang bergantung
pada komposisi, panjang dan konsentrasi primer, dan proses sintesis fragmen
DNA. seperti yang dikemukakan oleh Pauls et al. (1993) bahwa suhu
penempelan primer dipengaruhi oleh panjang primer dan pensentase G/C dalam
primer serta konsentrasi garam larutan penyangga. Tahap sintesis fragmen
terjadi polimerasi nukleotida yang dimulai dari ujung 3’ primer berdasarkan
urutan DNA cetakan, suhu tahap ini bergantung pada panjang dan susunan dari DNA
cetakan, namun sekitar 720C. Tiga tahapan diulang dalam beberapa
siklus untuk mendapatkan kualitas fragmen yang nampak jelas.
Bahan-bahan
yang dibutuhkan dalam proses PCR yaitu primer, enzim polymerase, dNTPs yang
mencakup dATP (nukleotida berbasa Adenine), dCTP (nukleotida berbasa Cytosine)
dan dTTP (nukleotida berbasa Thymine) (Muladno, 2002). Pada penelitian ini
digunakan green master mix merek promega, nuclease-free water, primer, dan DNA
kentang hitam. Green master mix merupakan larutan berwarna hijau yang
mengandung enzim Taq DNA polymerase, dNTPs, MgCl2 dan buffer reaksi. Selain
itu, green master mix mengandung 2 pewarna yaitu biru dan kuning yang membantu
saat elektroforesis. Nuclease-free water merupakan air yang tidak mengandung
zat-zat yang dapat merusak DNA khususnya enzim nuclease sehingga aman untuk
digunakan sebagai pelarut dan melengkapi campuran PCR agar mencapai volume
akhir yang diinginkan.
4.1.3
Elektroforesis
Jenis
elektroforesis yang digunakan pada penelitian ini adalah elektroforesis daerah
secara horizontal, yang menggunakan gel agarose. Alat elektroforesis yang
digunakan bermerek ATTO My Power 300 AE-8130. Proses elektroforesis dilakukan
pada gel agarose 1,5% dalam buffer TAE1x, voltase 100volt, selama 120 menit. Penggunaan
gel agarose pada penelitian ini merupakan hal yang tepat karena DNA genom yang
dianalisa memiliki ukuran basa yang banyak. Gel agarosa memiliki resolusi yang
lebih rendah tetapi dapat memisahkan DNA yang berukuran sampai puluhan kilo
pasang basa. Sedangkan gel poliakrilamida memiliki kapasitas resolusi yang
lebih tinggi, tetapi gel poliakrilamida dapat memisahkan DNA hanya dalam rentang
ukuran DNA yang sempit (Pratiwi, 2001).
Molekul
DNA bermuatan negatif sehingga di dalam medan listrik akan bermigrasi melalui
matriks gel menuju kutub positif (anoda). Makin besar ukuran molekulnya, makin
rendah laju migrasinya. Berat molekul suatu fragmen DNA dapat diperkirakan
dengan membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi fragmen-fragmen
molekul DNA standar (DNA marker) yang telah diketahui ukurannya. Ukuran DNA
marker dari yang dekat dengan sumuran gel adalah 3000bp, 2000bp, 1500bp,
1200bp, 1000bp, 900bp, 800bp, 700bp, 600bp, 500bp, 400bp, 300bp, 200bp, 100bp. DNA
ladder atau gene ruler dibutuhkan pada waktu elektroforesis sebagai pembanding
DNA sampel saat analisa dilakukan. Gene ruler yang digunakan saat
elektroforesis sebanyak 2µl yang diletakkan pada sumuran gel pertama. DNA
ladder yang digunakan pada penelitian ini bermerek gene ruler plus DNA ladder
100bp terfermentasi.
Saat
menguji kualitas DNA genom dengan elektroforesis, digunakan loading dye
sebanyak 1µl sebagai campuran DNA 3µl. Fungsi loading dye adalah sebagai
pewarna agar mudah memonitoring proses elektroforesis. Namun, saat proses elektroforesis
DNA hasil PCR, tidak digunakan loading dye karena dalam campuran PCR
tersebut sudah terdapat green master mix. Green master mix
mengandung dua warna yaitu kuning dan biru yang dapat mempermudah saat
memonitoring elektroforesis.
Gel
yang telah dielektroforesis, direndam dalam etidium bromide 1% selama 15 menit.
Etidium merupakan larutan yang biasa digunakan untuk memvisualisasi potong-potongan DNA
yang telah di pisahkan pada gel elektroforesis. Molekul etidium berpendar fluor
ketika diiluminasi dengan cahaya ultraviolet (UV) pada kisaran visible UV
(Moran, 1979). Etidium merupakan sebuah molekul yang dapat mengikat kuat pada
DNA. Etidium mengikat dengan cara menyisip di antara ikatan basa pada untai
ganda DNA. Struktur cincin etidium adalah hidrofobik dan mirip dengan struktur
cincin pada DNA. Etidium dapat membentuk kontak van der Walls tertutup
dengan pasangan basa. Molekul yang mengikat pada lokasi tersebut dikenal dengan
Agent inter khelat karena mengkhelat pada susunan DNA yang kokoh. Dengan
demikian, etidium merusak pilin ganda (double helix) dan menghambat
replikasi DNA, transkripsi, perbaikan DNA, dan rekombinasi. Ini sebabnya
intercalating agent berpotensi sebagai mutagen (Reha, 2012).
Visualisasi DNA hasil PCR dengan uv transiluminator
menunjukkan beberapa sampel pita DNA yang tidak muncul. Misalnya pada gambar
berikut ini :
Gambar
4. Hasil visualisasi gel elektroforesis sampel no.11-20 primer ISSR UBC 811. a.
Visualisasi elektroforesis pertama. b. Pengulangan
Pada gambar 4a,
dapat diketahui beberapa sampel yang tidak menunjukkan pita DNA yaitu no. 12,
13, 16, 17, 19, dan 20. Ketidakmunculan pita dapat terjadi mungkin dikarenakan
jumlah DNA hasil ekstrak sangat sedikit, sehingga perlu diulangi dengan
meningkatkan volume DNA pada campuran PCR dari 1µl menjadi 1,5 µl. Hasil
pengulangannya dapat dilihat pada gambar 4b. Pada gambar tersebut terlihat pita
dari semua sampel DNA.
Beberapa sampel DNA ada yang tidak
terlihat pita DNA meskipun telah diulangi dengan berbagai konsentrasi.
Gambar
5. Hasil visualisasi gel elektroforesis sampel DNA kentang hitam no. 1-10
primer ISSR UBC 807. a. Visualisasi gel
elektroforesis. b. pengulangan
Pada gambar 5a
dapat terlihat beberapa sampel DNA yang tidak terlihat pitanya saat
divisualisasi yaitu no. 5, 7, 8, dan 9. Setelah diulangi dengan meningkatkan
volume DNA menjadi 1,5 µl saat PCR, tampak pita-pita tersebut muncul meskipun
kurang jelas, kecuali sampel no 8 (gambar 5b). Namun, sampel DNA kentang hitam no.8 dapat terlihat pita DNAnya pada primer
lainnya. Dengan demikian, kemungkinan sampel kentang hitam no.8 tidak memiliki
daerah yang teramplifikasi primer ISSR UBC 807.
4.2 Variasi
Genetik Kentang Hitam (Plectranthus rotundifolius) Mutan Hasil Radiasi Sinar Gamma dengan Marka ISSR dan RAPD
4.2.1
Kentang Hitam (Plectranthus rotundifolius)
Mutan Hasil Radiasi Sinar Gama
Primer yang mampu menunjukkan profil DNA yang berbeda antara mutan
kentang hitam P. rotundifolius dan kontrol ditunjukkan dengan munculnya
pola pita yang polimorfik pada jarak (lokus) yang sama. Gambar 6 merupakan
contoh hasil visualisasi pita-pita DNA kentang hitam mutan hasil radiasi sinar
gama beserta kontrol.
Berdasarkan
gambar di atas, dapat diketahui bahwa amplifikasi primer ISSR dan RAPD terhadap
10 tanaman kentang hitam mutan hasil radiasi sinar gama dan kontrol telah mampu
menghasilkan pola pita polimorfik yang secara rinci ditampilkan pada tabel 4.
Tabel
4. Rincian lokus yang teramplifikasi menggunakan primer ISSR UBC 834 dan RAPD
OPB 10 pada 10 tanaman kentang hitam (P. rotundifolius) mutan
hasil radiasi sinar gama dan 3 kontrol.
Primer
|
Lokus
|
Kriteria
|
K1
|
K2
|
K3
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
ISSR UBC 834
|
1100
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
900
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
1
|
1
|
0
|
0
|
1
|
|
800
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
1
|
1
|
0
|
0
|
1
|
|
700
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
1
|
|
600
|
Monomorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
|
330
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
0
|
1
|
1
|
0
|
0
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
|
300
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
|
RAPD OPB 10
|
2000
|
Polimorfik
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1500
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|
1100
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|
800
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
|
600
|
Monomorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
|
500
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
0
|
1
|
|
300
|
Polimorfik
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Keterangan
:
1 :
muncul pita
0 :
tidak muncul pita
Polimorfisme
pola pita yang dihasilkan dari 2 primer di atas menunjukkan keragaman yang
sangat tinggi karena mampu menampilkan 14 lokus yang terdiri atas 12 lokus
polimorfik dan 2 lokus monomorfik. Pola pita monomorfik dihasilkan dari primer
UBC 834 ukuran 600bp dan OPB 10 ukuran
600bp. Jumlah lokus yang dihasilkan masing-masing primer berjumlah tujuh.
Berdasarkan
analisa UPGMA (unweighted pair group with arithmeatic average) program
NTSYS-pc (numerical taxonomy system) versi 2.0 NTSYS, maka dihasilkan
dendogram (Gambar 7). Dari dendogram tersebut dapat diketahui bahwa kentang
hitam mutan yang paling berbeda dengan kontrol pada koefisien 0,5 yaitu kentang
hitam no. 5. Setelah itu disusul oleh no. 7, 8, 9, dan 10 pada koefisien
sekitar 0,6.
Gambar
7. Dendogram kentang hitam (Plectranthus rotundifolius)
Mutan Hasil Radiasi Sinar Gama
4.2.1
Kentang Hitam (Plectranthus rotundifolius)
Mutan Tahan Salin Hasil Radiasi Sinar Gama
Berikut ini adalah gambar hasil visualisasi gel
elektroforesis sampel kentang hitam mutan tahan salin.